Jakarta, Kota Kejam Kesayangan

the lights near Kuningan

 

another crowd
   Menghabiskan waktu tiga tahun kuliah di perbatasan Tangerang dan Jakarta, hidup dengan segala hiruk pikuknya sudah kuakrabi setiap waktunya. Mulai dari panas menyengat yang membuat tubuh banjir keringat, serangan nyamuk kosan yanga tak mengenal musim panas maupun hujan, pola hidup kalong yang sempat membuat kesehatan morat marit berantakan, kehidupan masa kuliahnya yang menyenangkan, perjalanan keliling kota maupun perjalanan ke luar kota yang dimulai dari sini, Jakarta semua punya kesannya tersendiri bagiku.
   Setelah lulus kuliah, setahun waktu berikutnya juga kuhabiskan di Jakarta, magang di pemprov dan kantor akuntan pun kulakukan daripada berdiam di rumah dan ditanya tanya kapan kerja. Praktislah aku jadi bagian dari kehidupan anak gaul kereta commuter (commet). Awalnya tak pernah terbayang aku berangkat pulang kerja dengan commuter penuh manusia yang berjejalan seperti pindang dipepes. Panas? Iya, apalagi ketika Ac gerbong yang dinaiki tak nyala, mandilah kau dengan keringat dan bau campur aduk dalam kereta. Berangkat kala mentari terbit dan pulang saat sudah tenggelam sepersekian waktu. Hahaha demi sesuap nasi dan sebongkah berlian adek rela bang. Ya, itung itung pengalaman kerja sebelum diurus Kementerian Keuangan. Tak hanya jadi pengguna kereta, mengejar ngejar kopaja demi sampai tempat tujuan juga sudah bagian rutinitas. Kendaraan umum yang usang dan dikendarai dengan semena mena inilah yang kerapkali mengantarku ke tujuan akhir.
night lamp

 

love to see the sunset from high building

 

pretty interesting seeing this

 

Old City of Jakarta
   Jakarta, orang benci padanya tapi begitu ingin datang. Sudah hampir empat tahun hidup di sana, yang namanya banjir, macet dan egoisme bukanlah mitos. Orang – orang hidup di ibukota terbentuk dengan sifat individualisnya. Damn it’s true. Pernah suatu sore di depan balaikota aku nyaris tertabrak pengendara motor yang melaju di trotoar. Dia yang salah, gue yang diklakson klakson. Oke fine, egoisme memang sudah sedemikian parah di sini. Tak jarang di comuter, pekerja kantoran yang cantik dan tampan rupawan pura – pura tertidur setelah dapat tempat duduk daripada mengalah untuk pengguna yang lebih membutuhkan. Kalau mau lebih manusiawi kamu harus bisa bertahan di tengah kekejaman ibukota. Banjir adalah agenda wajib yang terjadi di setiap tahunnya, hujan deras mengguyur, genangan timbul di mana mana. Sedangkan macet di ibukota tiap hari makin parah, laju kepemilikan kendaraan tinggi tapi pertumbuhan infrastrukturnya bisa dibilang mangkrak.    Jakarta menawarkan pesona kehidupan ibukota yang modern tapi menyembunyikan kelusuhan dan kekumuhan di baliknya. Jakarta memberikan harapan bagi para pengejar kesuksesan sekaligus keporakporandaan bagi yang tak bisa bertahan. Dia yang dibenci sekaligus dicintai, Jakarta, kota kejam kesayangan yang kurindukan.
empty-station

 

when the rain trap you in

 

when the commuter is empty

 

the always crowded road

 

take the tour by bus, and get stuck in the middle of the city

 

Karaoke

 

when you can’;t even go out of the traffic jam, seen from the 29th floor

 

I like high buildings

 

it’s Bekasi part haha, so cruel

 

the cruel Commuter life

 

place where I like the night atmosphere

 

where the place taken to sit for two

 

it’s always the beginning of my journey in Jakarta

 

from 29th floor , 88 Tower Jakarta

Anggi Restiana Dewi